Cerpen ; Cinta Kilat


Dea sering sekali menikmati desau angin dan ombak tak seberapa di alun-alun sungai kapuas.  Walau hanya ombak yang datang akibat kapal lewat, bagi Dea hal itu suduh cukup membuatnya merasa nyaman. Hanya ada tiga hal yang biasa Dea lakukan sebagai ritualnya selama kunjungan di tepian sungai kapuas itu. Membaca, menulis, atau melamun, menunggu sang insprisai datang menghampiri. Bagi Dea, menulis adalah passionnya. Banyak sore menenangkan yang Dea lewati, dan ia menikmatinya. Hingga suatu ketika, datanglah musim lomba kayuh sampan.
Lomba kayuh sampan di Pontianak biasanya diadakan dalam rangka memperingati hari-hari besar seperti ulang tahun Indonesia, ulang tahun Pontianak, atau saat-saat gawai adat. Banyak kelompok peserta dari beragam latar organisasi turut serta dalam lomba tersebut. Seperti suatu ketika, Dea dapat melihat ada beberapa regu yang memanfaat aliran sungai kapuas untuk berlatih kayuh sampan. Disanalah, mata indah itu. Ketenangannya memabukkan. Matanya seakan menatapnya luru-lurus bagai elang yang tengah menandai mangsa. Dan hari Dea berubah sejak itu. Tidak ada lagi sore menenangkan. Hatinya kacau.
 “Jadi, kemana ya kita sore ini?” Raisa bertanya sambil lalu yang ternyata ditanggapi dengan penuh semangat oleh Dea.
“Alun-alun, yuk.”

picture by missyemms via weheartit


“Tumben kamu semangat banget ngajak kesana?” tanyanya sambil menatap curiga.
Untung saja Raisa lalu memutuskan tidak menganggap penting semangat berlebih Dea. Sehingga ia tidak sempat melihat senyum simpul yang tiba-tiba merekah di wajah imut ala pemain drama Korea milik Dea.
“Ramai banget ya?”
Seruan Raisa menyadarkan Dea dari lamun singkatnya dan menandakan mereka telah tiba di alun-alun. Seperti biasa, mereka lalu duduk di spot favorit. Tempat yang menurut Raisa paling adem sekaligus tempat strategis bagi Dea untuk melihat pangeran sampanya, begitu ia menamai si lelaku bermata elang.
“Wah, banyak tuh yang latihan sampan.” Raisa bergumam sambil mengeluarkan sebuah novel.
“hm-hm” Dea menjawabnya singkat, seolah tak tertarik pada percakapan itu. Padahal, matanya sedari tadi sudah sibuk mencari-cari sosok yang diincarnya.
“Hai, ada air putih tidak?”
Sapaan yang tiba-tiba sontak membuat Raisa dan Dea menoleh tiba-tiba. Dan disana, Dea menatapnya. Mata indah itu. Mata elang itu.
“Ada air putih?”
Lagi, laki-laki itu bertanya. Kali ini dibarengi senyum – yang jujur membuat hati Dea ketar-ketir – dan lantas duduk tak jauh dari mereka. Raisa yang tidak mengerti apa sebenarnya yang sedang terjadi, hanya bisa menatap temannya bingung. Yang ditatap hanya balas menatap sambil melayangkan isyarat. “Please, jangan tanya sekarang. I’ll tell you everything”
Teringat pertanyaan sang pangeran sampan, Dea lalu mengeluarkan botol mineral yang baru dibelinya dan tersenyum manis. Berharap itu senyum termanis yang bisa dia berikan.
“Thank you.” Cowok itu menerima. “Oh, pasti kamu lupa ya, sama aku?” tambahnya. Kali ini sukses membuat, tak hanya Raisa, tapi Dea juga bingung.
Seakan memahami ekspresi kedua gadis itu, si pangeran sampan kembali tersenyum. Kali ini mengulurkan tangannya. Pertama kepada Raisa, karena Raisa duduk lebih dekat dengannya.
“Deo” katanya singkat yang dibalas juga dengan singkat oleh Raisa dengan menyebut namanya sendiri.
Lalu beralih mengulurkan tangan kepada Dea.  “Deo. Anaknya tante Ai. Dea kan?”
Dea berpikir sejenak. Sepertinya ia tidak asing dengan nama itu. Lalu, seolah dihantam godam, kenyataan menerjangnya.
Senyum tulus yang masih diberikan pangeran sampannya, Deo, tak lagi menawan. Senyum itu malah membuat hatinya linu.
Tante Ai adalah sepupunya mama. Dulu tante Ai sering sekali main kerumah. Kalau tante Ai adalah sepupu mamanya, berarti Deo. Dea tak mampu melanjutkan keterkejutannya. Ia sadar kisahnya berakhir. Berakhir bahkan tanpa permulaan.
Menutupi hatinya yang mulai perih, Dea membalas senyum Deo. Dea dan Deo. Ia pasti akan menganggap kebetulan nama yang mirip ini manis, kalau saja kenyataan tidak begitu pahit. Dalam benaknya ia hanya bisa mengulang satu kalimat yang tiba-tiba dirasa sangat pas untuknya.
“Kau dan aku bagaikan hujan dan teduh. Kita datang berbarengan tapi tidak ditakdirkan untuk berjalan bersisian.”[1]

_End_


[1] Quote adaptasi dari Hujan dan Teduh karya Wulan Dewatra

Comments

Popular Posts