Crazy Love

Bab 1

Opening

Panas! Berjemur dibawah terik matahari, siapa yang gak kepanasan? Keringat yang mengucur dengan derasnya membuat anak rambutku mulai menempel dijidat. Siapa sih yang punya ide buat ngadain upacara setiap Senin bagi siswa sekolah. Sungguh menyusahkan. Apa gak kasian sama putra-putri bangsa yang masih harus menguras otak selapas dijemur seperti ikan asin ini? Tapi sepertinya Bu Kepala sekolah yang dari tadi terus mengoceh dipodium tenang-tenang aja tuh! Gak ada tanda-tanda kalau dia bakal menyudahi pidatonya. Apa beliau gak sadar ya kalau murid-murinnya ini sudah menjerit kepanasan. Hh, gak salah kan aku berdoa agar beliau tiba-tiba sakit perut dan harus segera kekamar kecil.

“Ssst, Ta! Sonata!!”

Suara ini, pasti Ruby!

“Nata, ntar kita kekantin dulu ya! Haus banget nih! Oke?”

Anak itu. Selalu saja memutuskan seenaknya sendiri. Tanpa ku bilang Ya-pun nanti doski tetap akan menarikku mengikutinya. Tapi mau gimana lagi, aku juga gak tega untuk menolaknya.

“Baiklah anak-anak, ibu rasa cukup…”

Akhirnya!! Berakhir juga penderitaan ini. Dapat kusaksikan wajah teman-teman yang tadinya lusuh, kini menyunggingkan senyum penuh syukur. Dan begitu MC upacara menutup seluruh rangkaian ceremony, tanpa perlu komando seluruh siswa membubarakn barisannya. Seperti biasa, sebagian besar dari mereka akan menuju tempat yang sama, kantin!

“Kepsek kita hebat ya Ta! Tahan banget dia ngoceh panjang lebar gitu. Aku yakin deh, waktu sekolah dulu pasti doi punya cita-cita jadi presiden. Karena gak kesampain, kita deh yang jadi sasaran diceramahi tiap minggu. Apes banget!”

Yah, begitulah Ruby. Dia bakalan ngoceh sepanjang hari. Well, kecuali kalau dia lagi sakit gigi. Tapi walau begitu, dia tetap temen yang baik.

Aku dan Ruby teman satu tim di klub siaran sekolah kami. Kita gak cuma berdua, masih ada Serene, Zian sama Bandri. Awalnya kita cuma rekan kerja, tapi karena sering sama-sama, entah sejak kapan jadi tambah akrab. Disekolah, anak-anak lebih mengenal kami dengan sebutan 5sekawan. Dan entah usul siapa, aku yang jadi ‘leader’nya.

“Oh ya Ta, ntar sore anak-anak pada mau ke Buffer. Kamu ikutan juga kan. Si Bandri mau traktir kita. Pajak Jadian. Tu anak kan udah resmi jadian sama kak Dyo. Ketua klub basket itu.”

“Aduh, sorry By! Aku gak bisa. Mulai hari ini aku musti antar - jemput kak Nada. Mobilnya masuk rumah sakit. Jadi aku deh yang harus jadi tukang ojeknya.”

Ya, karena kemarin mobil kesayangannya disenggol oleh orang tak dikenal, aku jadi kebagian tugas antar - jemput kakakku semata wayang itu kekantornya. Rada males juga sih. Tapi mau gimana lagi?

“Yah, gak seru donk! Apa kita suruh Bian undurin acaranya aja ya?”

“Gak usahlah. Kalian aja. Aku ikutannya lain kali. Kasihan Bian donk kalau harus diundur hanya gara-gara aku gak bisa ikut.”

Bian pasti senang banget bisa jadian sama Kak Dyo. Ketua Klub kami itu sudah ditaksir Bian sejak pertama kami menginjakkan kaki disekolah ini. Love at First Sign gitu. Kak Dyo yang sekarang duduk dikelas 3 sebenarnya idola hampir semua cewek satu sekolah. Beruntung banget Bian bisa jadian sama dia.

“BTW ya, Ta. Dari kita semua cuma kamu nih yang belum punya cowok. Padahal, kalau dipiki-pikir, kamu itu lumayan popular lho! Selama 17 tahun aku kenal kamu, gak ada tuh satu cowokpun yang nembak kamu, trus kamu terima. Mulai dari yang ganteng abis, sampai yang iasa banget. Semuanya ditolak!”

Hh, ni anak. Dikira cari pacar gampang kali ya. Kalau ada yang aku suka juga pasti aku terima. Lagian gayanya 17 tahun kenal aku. Umurku aja baru mau 16. Tapi bener kok, aku bukannya gak pingin punya cowok, cuma belum nemu aja yang pas dihati.

“Males ah! Bikin repot aja! Coba lihat Serena sama Zean, hanya gara-gara gak bisa ketemu sama cowknya aja udah seperti orang gila. Gimana kalau harus putus nanti. Lagiankan cuma pacar ini, gak penting amatlah!”

Weleh, boong banget tuh.

♥♥♥

Bel istirahat baru aja berdering satu kali saat anak-anak beranjak kabur keluar kelas. Maklum saja, Pak Tio yang seharusnya mengisi jam pelajaran terakhir sebelum istirahat ini gak hadir, jadilah anak-anak bisa keluar lebih awal.

Seperti biasa, saat jam istirahat begini, aku, Ruby, Zian, Serena, dan Bandri akan langsung menuju ruang siar dilantai 3 gedung 2 -gedung yang dikhususkan untuk ruangan ekstra kulikuler.

“Hallo semua…”

Salam yang selalu diucapakan Zian setiap kali memasuki ruang siaran.

Aku, Bandri dan Ruby sekelas di XI IA 1, sementara Zian satu kelas dengan Serena di XI IA 2. Makanya, kami baru bisa kumpul diruang siaran.

“Sendirian aja, Yan?”

Bandri menjawab salam Zian sementara aku dan Ruby hanya melayangkan senyum.

“Iya nih. Si Serena lagi ke perpustakaan. Mau pinjam buku apa, gitu.”

Zian menjawab sambil mulai mengutak-atik computer. Maklum saja, setiap kali siaran, Zian memang selalu kebagian tugas jadi operator.

“Oh, iya, hari ini wawancara si Patra kan? Kemana sih tu anak, jam gini kok belum nongol. Ya udah, kamu mulai aja deh, Ta. Ntar kalo Patra muncul biar dia nyusul aja. Gimana?”

Mulai deh si Ruby bossy-nya keluar.

“Aduh, sorry nih telat. Tadi aku mampir dulu keruang klub. Siaran belum mulai kan?”

Panjang umur juga Patra. Baru aja diomongin, udah langsung nongol.

Sebenarnya pembagian jadwal serta tema siaran selalu disusun setiap awal bulan sehingga setiap orang bakal ngerasa duduk dibagian tugas berbeda. Tapi karena saat ini klub juga lagi sibuk dengan persiapan penerimaan anggota baru, jadilah aku yang selalu kabagian jatah jadi penyiar, sementara Serena, Ruby, juga Bandri mengurus seluruh keperluan perekrutan. Zian? Dia tetap jadi operator.

Setiap tangah minggu kami akan megadakan wawancara dengan siswa. Tentu saja mereka-mereka yang memiliki prestasi khusus seperti ketua OSIS, Juara sekolah, ketua masing-masing klub -seperti Patra yang ketua klub sepak bola- hingga idola sekolah seperti Kak Dyo. Saat itu Bandri memaksa ingin jadi penyiarnya. Tapi karena dia harus rapat bareng anak-anak OSIS, jadilah dia hanya bisa mendengar suara idolanya itu melalui speaker yang berada disetiap sudut sekolah.

Siaran usai 3 menit sebelum bel tanda istirahat habis berdering. Jadi kami gak perlu buru-buru kekelas karena takut ketinggalan jam pelajaran.

“Terima kasih kerja samanya.”

Ucapku sambil menyalami Patra.

Sebenarnya, Patra itu teman lamaku. Aku sudah satu sekolah dengannya sejak TK. Bahkan sejak kelas 2 SMP, kami selalu sekelas. Tapi kami tak pernah menjadi akrab. Padahal Patra itu termasuk anak yang supel. Dia mudah bergaul dan akrab dengan banyak orang, kecuali aku.

“Sama-sama. Oh iya, minggu besok anak-anak di SD kita bakal ngadain Reuni di Buffer Café. Jam 1 sampai selesai. Yuk, aku duluan ya.”

Begitulah sikapnya setiap kali bersamaku. Selalu menyampaikan yang ingin dia katakan dengan singkat dan langsung ngacir setelahnya. Kadang-kadang membuatku kesal.

“Si Patra kalau ngomong sama kamu ringkas banget ya, Ta?”

Suara Serena cukup mengagetkanku.

“Dia gak suka sama aku kali.”

Jawabku ringan sambil merapiakan meja siar. Yah, kemungkinan itulah yang dapat kutangkap dari sikap Patra kepadaku selama ini.

“Masa? Menurutku, dia justru mungkin suka sama kamu Ta!”

Aduh, gimana sih Serena. Kok bisa-bisanya dapat asumsi kayak begitu. Tapi aku hanya dapat menanggapinya dengan senyum.

“Ta, kata Ruby kamu sudah alih profesi jadi ojeknya kak Nada ya?”

Kali ini Bandri yang angkat bicara.

“Aduh, kamu bakal bolak-balik ke RSJ donk. Gak takut, Ta? Kak Nada Psikolog di Medica kan? RSJ yang dideket Gramed itu?”

Zian ikutan nimbrung.

Kak Nada memang Psikolog yang saat ini sedang dinas disalah satu Rumah Sakit Jiwa dikotaku. Awalnya aku memang sempat takut kalau harus mengantar jemput kak Nada kekantornya. Tapi setelah biasa, ya, biasa aja.

“Gak. Gak semua orang gila membahayakankan kok. Buktinya kita aman-aman aja dengan Ruby. Iya gak By?”

Ruby yang kuajak bicara sedang asyik dengan HPnya. Jadi saat dia menganggukkan kepala menjawab pertanyaanku, kontan saja tawa kami pecah.

♥♥♥

Sebentar lagi pekan budaya dan olahraga akan diselenggarakan disekolahku. Even yang selalu dinanti setiap siswa ini selalu diadakan tiap tahunnya setelah ulangan tengah semester. Tidak hanya kalangan siswa dan keluarganya yang dapat menghadiri acara ini. Masyarakat umum juga dapat melihat-lihat. Cukup dengan membeli tiket masuk seharnga Rp 10.000,-.

“Jadi guys, kelas kita bakal ngadain apa nih buat even nanti. Waktunya tinggal 2 minggu lho!”

Bandri bicara didepan kelas sebagai ketua kelas.

“Kalau bisa, kita raih tu penghargaan kelas dengan best ideanya.”

Lanjutnya penuh antusias.

Memang pada acara nanti, kelas dengan tema pameran terbaik akan mendapat penghargaan ‘Beast Idea’. Yang menentukan ya, para pengunjung yang datang. Kelas yang paling ramai pengunjungnyalah yang dapat menang.

“Gimana kalau café bola aja?”

Seorang siswa mengajukan usul yang langsung disambut siswa lain. Tak lama, kelas menjadi riuh dengan perdebatan yang semakin memanas.

“Em, gimana kalau kita buat kedai buku. Jadi selain menjual makanan-minuman, kita juga jual buku-buku murah. Gak perlu yang baru. Buku-buku dirumah yang kira-kira gak kepakai tapi masih layak dibaca juga gak apa-apa.”

Aku ikutan mangajukan usul.

“Setuju tu! Kalau mau kita bisa kerja dengan pamanku yang jualan buku murah. Koleksi bukunya lumayan lengkap lho!”

Aku memutar kepala untuk melihat siapa yang menyetujui usulku. Ternyata suara itu berasal dari bangku tepat dibelakangku, Patra.

“Oke, usul tambahan lagi. Kedai buku. Yang lain gimana? Apa kita langsung poling aja?”

Bandri dengan sigap memimpin rapat kelas.

Setelah kira-kira menghabiskan waktu sekitar satu setengah jam, rapat kelas berkhir dengan keputusan mambuat kedai buku yang diberi nama “Kedai Talula”. Namanya lucu ya? Si Ruby tuh yang punya ide.

Dengan demikian, dimulailah minggu sibuk kami mempersiapkan even besar ini. Aku kebagian tugas menjadi arsitek ruangannya. Oh iya, ruangan yang akan dipakai adalah ruang kelas kami sendiri. Untuk makanan yang akan dijual nanti, kami akan membuatnya sendiri. Kebetulan ada beberapa teman yang jago dalam urusan masak memasak. Untuk itu aku harus segera meminta izin pada wali kelas kami untuk membuat dapur dadakan dikelas. Nah, untuk penyedia bukunya, Patra yang diberi tanggung jawab. Aku sudah pernah ketoko buku paman Patra, buku-buku yang dijual disana memang bukan buku baru, tapi keadaannya masih sangat baik. Dan seperti kata Patra, koleksi buku disana lumayan lengkap dengan harga yang jauh lebih murah dari toko buku lain.

“Hari ini gak jemput Kak Nada, Ta?”

“Ntar sore.”

Jawabku singkat atas pertanyaan Zian.

Saat ini kami sedang lunch di Buffer. Cefe yang letaknya gak begitu jauh dari sekolah ini memang menjadi tempat favorit kami. Suasananya yang tenang dan asri membuat setiap pengunjungnya betah.

“Nih Ta!”

Serena mengajukan tas karton kecil padaku.

“Apaan nih?”

Terpaksa kutinggalkan dulu makananku menerima sesuatu dari tangan Serena itu.

“Kaset. Dua minggu lalu waktu ke Singapore, aku ketemu itu. Sorry baru inget kasi sekarang. Lupa terus.”

Mataku terbelak saat melihat ‘hadiah’ yang diberikan Serena. Kaset terbaru dari Super Junior!

“A… mphhfh!”

Untung saja Zian membekap tanganku tepat saat aku hendak berteriak! Kalau tidak, kami bakalan jadi tontonan pengunjung satu café.

“Hushh! Aku juga ada hadiah buat kamu, tapi janji jangan teriak!”

Kali ini ganti Bian yang bicara sementara Zian tetap membekap mulutku. Alhasil, aku hanya dapat mengangguk.

“Nih! Dari Tara, sepupuku. Dia kemarin baru balik dari Busan.”

Bian mangajukan sebuah poster besar. Aku belum bisa melihatnya karna poster itu digulung kedalam.

“Aku buka tanganku tapi awas kamu teriak lagi!”

Ancam Zian saat ku minta mulutku dibebaskan, yang langsung kujawab dengan anggukan.

Benar saja, poster itu ternyata gambar 13 bintang idolaku, lengkap dengan tanda tangan mereka.

Lagi-lagi Zian membekap tanganku. Kali ini sebelum aku berteriak kegirangan.

“Aku kan udah bilang, awas aja kalau kamu teriak-teriak!”

Ucapnya penuh ancam.

Semua memang tahu kalau aku suka abis sama Super Junior, boyband asal Seul, Korea Selatan itu. Terutama Park Hyuk Jae atau EunHyuk. Bagiku dialah yang terbaik. Dan semua hal yang ada didunia ini, hanya meraka yang bisa membuatku gembira setengah mati.

“Aduh galz!! Thanks buanget… seneng banget lho! Thanks ya…”

Ucapku sambil memeluk mereka satu-persatu.

“Kamu kok bisa segitu senengnya sama orang-orang itu sih, Ta?”

Ruby akhiranya ikutan bicara setelah menyelesaikan makannya.

“Kenapa ya?”

“Mending kamu cepet-cepet cari pacar deh Ta! Biar gak gila-gilain tu artis lagi. Memangnya, gak ada cowok yang nyangkut dihati kamu ya? Perasaan, diskul kita banyak deh yang tampan.”

Mulai lagi deh si Ruby.

Memang benar sih, sekolah kami memang cukup terkenal dikalangan para siswi dari sekolah lain karena siswanya yang lumyan cakep. Tapi bagiku, tetep gak ada yang semanis EunHyuk-oppa.

“Jangan bilang kalau gak ada yang lebih manis dari appa mu itu!”

Bandri mendahuluiku berucap.

“Bukan appa, Bandri, but Oppa! Tapi memang kok, gak ada yang lebih manis dari my oppa! Eh, tapi kemarin aku ada lihat cowok manis… banget! Mirip lho sama EunHyuk-oppa. Jadi penasaran.”


Comments

Popular Posts