Chapter 1.2 ; I’m Sorry Oppa, I Love You

I’m Sorry Oppa, I Love You
(Aku hanya berharap kau membaca ini dan memberiku jawaban)

Chapter 1
Me: “Aku melakukannya lagi!”
Pesan singkat itu tanpa diduga sudah terkirim. Menahan napas, ia memandang layar laptopnya menunggu balasan.
Denta: “Apa? Apa lagi? Kau ini ngomong apa sih, Za?” 
Namanya Eza. Zaza, begitu biasa ia disapa. Dan yang mendapat serta membalas pesan singkatnya adalah Denta, salah satu teman dekatnya.
Me: “Aku lagi dilema Ta!”
Lagi-lagi hanya pesan singkat yang dilayangkan Eza.
Denta: “Dan karena?”
Kali ini balasan Denta tak kalah singkat.
Mereka, Eza dan Denta, sudah berteman lebih dari 7 tahun, tak heran bila bagi Eza, Denta adalah salah satu dari sedikit sekali orang yang nyambung kalau ia ajak bicara. Masalahnya, sebagian besar orang yang mengenal Eza akan berpikir kalau ia adalah gadis yang sulit dipahami, dalam arti harfiah maupun tidak.
Me: “Kau ingat laki-laki yang tadi kita temui di toko buku?”
Denta: “Seingatku, hari ini kita ketemu banyak sekali laki-laki, di toko buku ataupun di tempat lain.”
Me: “Aaa, benar. Tapi yang orang Korea itu. Yang pernah kita temui sebelumnya juga. Di,, cafe kalau tak salah.”
Denta: “A, yang itu. Iya, kenapa?”
Me: “Aku suka dia!!”
Denta: “Apa?? Kau bercanda ya? Yang benar saja!”
Me: “Sayangnya aku serius..”
Denta: “Tapi Za, dia itu,, apa ya. Biasa saja! Tidak tinggi! Tidak terlalu tampan juga. Bagaimana bisa?”
Me: “.... aku tahu! Aku juga berpikir begitu. Makanya kukatakan tadi, aku melakukannya lagi! Sial, sepertinya ada yang salah dengan mataku. Atau otakku..”
Me: “menurutmu, aku harus menyerah, Ta?”
Menyerah. Sepertinya kata itu akrab sekali dalam kamus percintaan Eza. Dari semua daftar laki-laki yang pernah atau sempat nyangkut di hatinya, 50% berakhir dengan kata menyerah. Sementara 50% lainnya terabaikan begitu saja karena ia sudah keburu bosan sebelum memikirkan mau berbuat apa.
Denta: “Hm, ya! Kurasa kau harus menyerah saja.”
Denta: “Ada terlalu banyak perbedaan, Za. Budaya, bahasa, suku, dan yang penting, agama. Sebaiknya kau memang menyerah saja.”
Denta: “Cari lagi saja yang lain, Za. Tenang, masih banyak stock laki-laki disini,,”
Kali ini ternyata Denta sependapat. Anehnya, hal itu ternyata membuat Eza kecewa. Padahal diam-diam Eza berharap, Denta -akan seperti biasa- melarangnya menyerah begitu mudah. Mencari satu atau dua cara untuk mendekat, atau apalah. Meski begitu Eza paham, Denta memang benar. Dirinya memang benar. Pasti akan lebih baik menyerah dari awal, terutama dalam kasus kali ini. Seperti kata Denta, terlalu banyak perbedaan. Dan ia-pun bukannya tidak melihat perbedaan-perbedaan itu dengan sangat jelas.
Eza: “Ya, ya. Kau benar.”
Seperti itu Eza mengakhiri percakapannya dengan Denta. Tetapi percakapan didalam benak Eza sama sekali belum menemui titik akhir. Ia sibuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa kali ini ia memang harus benar-benar menyerah, sementara bayangan laki-laki yang bahkan namanya tidak ia ketahuipun masih terpatri amat jelas dipikirannya.
Eza menutup matanya. Mengingat kembali kali pertama ia bertemu si laki-laki biang keladi dilemanya saat ini.
 Entah berapa minggu atau bulan yang lalu, Eza sendiri tak ingat pasti. Saat itu ia kaget saat telinganya menangkap percakapan dalam bahasa asing yang ia kenali. Bahasa Korea. Bahasa itu bukanlah bahasa yang akan sering  kau jumpai dinegara ini. Makanya dengan sedikit ragu Eza mencari tahu asal percakapan tersebut. Tidak jauh dari tempat ia duduk, tepatnya disebelah, ada dua orang yang sedang bercakap-cakap. Benar saja, kedua orang itu sedang berbicara dalam bahasa Korea. Bukan karena terjangkit demam Korea seperti yang melanda banyak remaja saat ini, tetapi karena orang-orang itu memang orang Korea. Yang kedua, di cafe yang sama, Eza kembali bertemu laki-laki, oppa[1] -begitu Eza memutuskan menamainya- itu.
Dari kedua pertemuan singkat tersebut Eza sama sekali tidak menyangka bahwa dirinya akan terperangkap dalam dilema seperti saat ini ketika lagi-lagi mereka bertemu. Yang ketiga ini di salah satu toko buku. Saat itu ia hanya tersenyum melihat orang asing yang dengan tak sengaja dijumpainya lebih dari satu kali. Namun senyum diam-diam Eza menghilang begitu saja saat oppa itu tersenyum. Sebagai informasi, senyum manis adalah senjata yang bisa melumpuhkan manusia sejenis Eza. Dan senyum yang dimiliki si oppa benar-benar membuat Eza lumpuh seketika. Kelumpuhan yang bertahan hingga malam tiba. Seperti saat ini, dengan masih memejamkan matanya, Eza dapat mengingat sangat jelas setiap sudut sosok oppa-nya. Raut wajahnya yang tidak terlalu tampan. Bajunya, ya, baju itu. Baju yang selalu oppa itu pakai setiap Eza bertemu dengannya. Baju warna biru dengan motif kotak-kotak. Lalu sepatunya. Suaranya, dan lagi, senyumnya. Seperti kaset rekaman yang hampir rusak, benak Eza selalu mengulang-ulang bagian saat ia melihat senyum itu.
“Gila!” Eza menepuk kepalanya sendiri.
Ia benar-benar sudah gila. Kegilaan yang timbul hanya untuk seorang lelaki yang tidak dikenal.
Bangkit, Eza memutuskan untuk membuka jendela kamarnya. Malam itu ada banyak bintang yang menyapa. Udara malam juga cukup hangat. Maklum, sudah lebih dari satu minggu hujan belum juga turun. Dengan pikiran yang masih terus melayang entah kemana, Eza duduk dijendela. Memperhatikan setiap jejak bintang. Berharap ia dapat menyaksikan salah satu bintang itu berpindah, atau bahkan terjatuh.
Menghela napas Eza bisa merasakan sosok yang dari tadi ia bayangkan kini ikut serta menatap bintang disampingnya.
Ia jadi ingat salah satu drama Korea yang pernah ia tonton. Disitu sang tokoh pria yang sedang jatuh cinta bisa menghadirkan sosok ceweknya tepat disampingnya. Berjalan dalam diam bersamanya. Duduk mendengar musik disisinya. Semua itu hanya imajinasi sang tokoh pria. Saat itu Eza berpikir itu sungguh lucu, tidak masuk akal. Tapi sekarang, Eza tahu pasti, yang seperti itu bisa saja terjadi. Dan ia sudah membuktikannya kini.
Menikmati kebersamaan palsu dengan oppa-nya, Eza kembali menatap bintang. Berharap oppa-nya yang asli, yang entah dimana, juga sedang membayangkan dirinya. Walau mengutuk kebodohan sendiri, tapi toh Eza membiarkan pikiran itu menguasainya.
Eza memutuskan membiarkan dirinya menikmati rasa suka itu. Menyimpannya dalam hati. Menyimpannya untuk diri sendiri dan berjanji akan berhenti secepatnya. Berhenti memikirkan oppa-nya. Berhenti mengharapkannya.
©©©
Matahari bersinar sangat cerah, bahkan sebelum alarm disamping tempat tidur Eza dimatikan. Dengan seulas senyum, Eza membuka jendela kamarnya dan pergi menuju kamar mandi, bersiap-siap hendak pergi kekampus. Hari ini moodnya sangat bagus. Jadi walaupun tidak dapat menemukan satu orangpun didalam rumah, bahkan tidak ada apapun di meja makan untuk sarapan, Eza masih bisa bersenandung didapur. Dengan riang ia menyiapkan sendiri sarapannya. Dua butir telur mata sapi, dua helai roti tawar, dan segeles susu dilahap nya sambil membaca pesan yang –sepertinya- ditinggalkan ibunya sebelum berangkat. Isinya, biasa saja. Semua pergi duluan, ada uang untuk makan siang dan makan malam diatas kulkas. Lalu ibu dan bapaknya hari ini akan pulang malam, jadi ia diminta tolong untuk menjemput adiknya dari tempat les pada jam 5 sore. Bahkan dengan kenyataan janji untuk pergi nonton dengan teman-temannya harus dibatalkan, Eza hanya mengangkat bahunya santai.
Sambil memanaskan motor kesayangannya, Eza menghidupkan mp3 player dan menyumbat kedua telinganya dengan headset. Playlist-nya sudah diatur untuk mengulang satu lagu saja. Jadi, sepanjang perjalanan menuju kampus Eza hanya mendengarkan satu lagu itu. Lagu yang tiba-tiba saja disukainya. Lagu dari salah satu GirlBand Korea.
After School Blue - Wonder Boy
Coming coming come to me
나만의 사랑이 되어 줄래
오래 기다려 왔던 숨겨왔던 마음 모아
조금 다가와
사랑한다 말해줘 너에게
친구로만 남기는 싫어
안아줘

Sepanjang perjalanan, lagi, Eza dapat merasakan kehadiran oppanya. Duduk tepat dibelakangnya. Sambil tersenyum dalam hati, Eza membiarkan bayangan itu dan dengan senang hati menikmatinya.
Setibanya dikampus Eza lalu menuju kantin. Disana Denta dan Fika sudah menunggunya. Fika adalah teman Eza lainnya. Sama seperti Denta mereka juga sudah berteman lebih dari 7 tahun.
“Lama banget si Za!” Fika menyapa sambil menggeser duduknya. Memberi tempat pada Eza yang di jawab dengan hanya tersenyum lebar, maksudnya sebagai permintaan maaf.
“Ntar siang kawananin ke supermarket ya, Za.” Timpal Denta yang duduk dihadapannya.
“Fika?” Dagu Eza terangkat pada teman disampingnya.
“Sibuk! Ada rapat ntar siang. Trus lanjut mau buat proposal untuk acara bulan depan.” Sahut Fika menyodorkan menu makanan kepada Eza.
“Cih, dasar komandan. Sibuk terus.” Eza ngedumel sendiri yang tanggapi dengan anggukan kepala Denta.
Seperti rencana tadi malam, Eza berniat menyimpan sendiri rasa suka yang sekarang melayang diatas kepalanya bagai awan kapas yang terbang mengikutinya kemana-mana. Jadi, sedikitpun ia tidak menyinggung masalah itu dihadapan kedua temannya. Sementara Denta yang berpikir Eza sudah menyerah juga tidak mau mengungkitnya.
Sambil menunggu pesanan makanan sampai, ketiga orang itu mengeluarkan laptop meraka masing-masing. Memulai rutinitas didunia maya dengan memanfaatkan internet gratis kampus.
“Aduh ini blogku uda lama banget ngak keurus. Mau nulis apaan ya?” Denta meminta saran. Eza hanya tersenyum dan membiarkan Fika yang turun tangan membantu Denta mencari ide. Sementara itu tangannya mulai menari diatas keybord. Eza sedang mulai mencari data yang bisa ia temukan untuk mengetahui identitas oppa yang terus memenuhi pikirannya. Dengan bekal nol alias nihil, ia mulai memasukkan kata kunci apa saja yang terpikirkan.
Setelah setengah jam berkutat tanpa hasil dibantu beragam mesin pencari yang ia ketahui, akhirnya Eza mematikan laptopnya.
“Cari apaan si, Za?” akhirnya Fika nggak tahan untuk tidak bertanya. Wajar saja sih. Apalagi setelah banyak “AH!” “Ck!” dan banyak umpatan singkat lain yang terlontar dari mulut Eza, tentu orang didekatnya akan penasaran.
Dengan mengangkat bahu dan tersenyum masam, Eza hanya menjawab “Ngak ada.”


[1] Oppa (오빠): panggilan dari perempuan kepada laki-laki yang lebih tua/ abang. (Korea)



***
***
Read Chapter  here

Comments

Popular Posts