Cerpen; Arfaqila (Sebuah Mantra Cinta)


Arfaqila
(Sebuah Mantra Cinta)


“Lagi apa?”
Suara disebrang HT menyapa.
“Lagi sedih!”
Balas Aqila sambil menarik sudut-sudut mulutnya. Sekali lagi ia diputuskan oleh lelaki yang baru saja dipacarinya. Dan tentu saja, dia tahu semua ini salah Arfa. Tidak seratus persen benar, tapi sebagian besar memang atas kesalahan cowok yang saat ini berada diseberang jalur radionya. Sebut saja Anto, Deddy, Tanto, Saiful dan tak tahu siapa lagi yang sekarang mendapat gelar ‘mantan Aqila’ . Bukan karena Aqila adalah seorang ‘play-girl’ yang memang senang gonta-ganti pacar, tapi, seperti yang tadi sudah  dikatakan, semua ini sebagian besar atas kesalahan Arfa.
Entah dosa apa yang dulu Aqila lakukan pada Arfa, tetapi lelaki yang satu itu senang sekali mengerjai siapa saja yang mengencaninya. Menunggu di ujung jalan setelah –siapapun itu- mengantar Aqila pulang. Mengempeskan ban sepeda yang diparkir didepan rumah saat ada yang ngapel. Dan hanya Tuhan dan Arfa sendiri yang tahu apa lagi yang sudah lelaki itu lakukan.
Arfa dan Aqila memang sahabat kecil. Mereka sudah lama sekali bereteman dekat. Itupun terpaksa karena rumah mereka berdekatan. Arfa memang lelaki yang terkenal dengan segudang kejahilannya. Tetapi sampai sekarang Aqila tidak pernah bisa menerima kejahilan yang satu ini.
“Kenapa sih kamu selalu mengganggu laki-laki yang jadi pacar aku?”
Tanya Aqila sambil bersungut-sungut.
“Bukannya mengganggu. Hanya memberi semacam uji ketahanan. Kalau mereka tidak dapat menghadapi sikapku, bagaimana bisa meraka menghadapi mu?”
Dari nada suaranya, Aqila dapat membayangkan ada senyum yang mengembang lebar di wajah tengil Arfa, dan itu sukses membuatnya bertambah kesal.
“Bah! Alasan mu kebanyakan, Fa. Bilang saja iri karena kamu ngak punya pacar, kan? Makanya, cari pacar donk Fa, biar ngak aku terus yang digangguin.”
Hening sebentar. Hanya suara gelombang radio yang membayangi.
“Aku juga baru berpikir untuk cari pacar sih.”
Tidak percaya mendapatkan tanggapan demikian, Aqila hanya dapat berdehem kikuk.
“Sebenarnya aku mau minta bantuan kamu nih, La. Bisa ngak sore ini kita ketemu di SD depan kampung?”
Tanpa pikir panjang, Aqila pun meng-iya-kan permintaan itu. Tadinya dia optimis dengan Arfa mendapatkan pacar, maka ‘nasib’ nya yang selalu buruk dalam menjalin hubungan dengan seseorang akan berubah.
Tapi begitu sambungan radio dimatikan, Aqila sadar ada persaan aneh yang menggelitiknya. Seperti udara panas yang berputar-putar di paru-parumu.
Selama ini Arfa adalah sahabat yang baik. Aqila bahkan berpikir Arfa adalah sosok abang yang selama ini selalu dia inginkan. Aqila selalu merasa nyaman berada disekitar Arfa. Dengan Arfa, Aqila bebas jadi dirinya sendiri. Ia bebas mau marah, ngambek, menangis, atau terbahak sampai mengeluarkan air mata. Dan mendapati sebentar lagi Arfa akan memiliki seorang –wanita- spesial, Aqila merasa seolah harta berharganya akan direbut.
“Aqila bodoh!”
Dia memarahi dirinya sendiri sambil memukul kepalanya.
Dia sadar bahwa hari pasti akan terus berganti. Arfa suatu saat tentu akan menemukan cintanya. Aqila harus bisa menerimanya. Maka dengan rasa gundah yang coba didorongnya menjauh hingga kedasar hati, Aqila bersiap-siap untuk menemui Arfa.

picture by lushlee


“Lama banget sih!”
Senyum cerah menghiasi wajah Arfa.
“Duh, keliatan banget yang lagi seneng.”
Aqila mencoba santai. Meski demikian rasa khawatirnya semakin menjadi-jadi. Ia seperti seorang ibu yang tidak ingin anak lelakinya menikah.
“Mau minta tolong apaan sih, Fa?”
Terlontar juga kalimat itu. Sebenarnya Aqila sama sekali tidak mau menyebutkan kata –yang menurutnya- berbahaya itu.
Jeda sangat lama. Kalau bisa Aqila ingin menjambak rambutnya saja akibat frustasi. Apalagi tampang Arfa yang tiba-tiba sok serius gitu.
“Sebelumnya aku mau tanya dulu. Kamu bisa ngak kalau ngak ada lagi aku-dan-kamu?”
Arfa sekarang menatap lurus-lurus manik mata Aqila. Membuatnya seolah terperangkap disana.
Aqila pernah berpikir bahwa keakraban mereka tidak akan berlangsung selamanya. Tapi tiba-tiba dihadapkan pada hal ini, membuat udara panas yang dari tadi berputar-putar di paru-parunya sekarang semakin besar dan turut mengambil alih rongga perutnya.
“eng.. “
Aqila hanya bisa menggumam tak jelas. Ia takut ada butir-butir penghianat yang akan mengalir jatuh ke pipinya kalau ia banyak bicara.
Aqila sayang Arfa, ia tahu itu dari dulu. Arfa sahabat terbaiknya, Arfa kakak lelaki yang diinginkannya. Masa bodoh dengan segala keusilan yang selama ini Arfa lakukan, Aqila akan memaafkan semuanya. Ia janji ia akan memaafkan semuanya. Aqila sama sekali tidak pernah membayangkan rasanya akan sangat menyedihkan bila kau diharuskan untuk menjauhi sahabatmu tersayang, apalagi kalau permintaan tersebut datang dari orangnya langsung.
“Aqila, bagaimana kalau aku tidak bisa lagi ada aku-dan-kamu.”
Aqila memalingkan wajah sebelum Arfa menyelesaikan kalimatnya.
“Bagimana kalau ku katakan aku ingin ada Arfaqila.”
Sekitika, bagaikan pegas yang kembali pada titik asalnya, Aqila menatap Arfa. Mencoba mencari makna perkataan lelaki itu dari sorot matanya.
“Arfaqila. Kau tak tau?”
Arfa bertanya sambil tersenyum samar yang hanya ditanggapi gelengan bodoh Aqila.
“Arfaqila itu mantra cinta. Dari Arfa dan Aqila. Yah, aku harap sih, mantra nya manjur.”
Dan butir-butir penghianat itu benar-benar berkhianat kini. Satu demi satu untaian manik air jatuh dari sudut mata Aqila. Tapi wajahnya tersenyum cerah.
“Arfaqila”
Gumamnya lirih


29 Juli 2012, bersama malam yang semakin larut

Comments

Popular Posts