Hukum Kepailitan



BAB II
HUKUM KEPAILITAN

A.    Pengertian Kepailitan
Kepailitan berasal dari kata ‘pailit’ yang dalam kamus umum bahasa Indonesia berarti bentuk percakapan dari jatuh, bangkrut, jatuh miskin[1]). Kata pailit berasal dari kata Belanda ‘failiet’ yang sebenarnya berasal dari bahasa Spanyol ‘faillite’, yang berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran. Jadi, kata pailit menurut Suhermoyo dalam buku Irawan Bagus dapat diartikan yaitu adanya suatu keadaan berhenti membayar.[2])
Dalam Undang-Undang Kepailitan Lama (UUK) Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, pailit adalah “Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 2, baik atas permohonan sendiri, maupun atas permintaan satu atau lebih kreditornya.”
http://booklitica.blogspot.com
Sejalan dengan pernyataan diatas, Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUKPKPU) dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 juga mendefenisikan pailit sebagai “Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan baik atas permohonan sendiri maupun atas permintaan satu atau lebih kreditornya.”
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pailit adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa keadaan berhenti membayar utang-utang debitur yang telah jatuh tempo.[3])


B.     Sejarah Hukum Kepailitan di Indonesia
Meskipun tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum dagang, Hukum Kepailitan tetaplah termasuk dalam ruang lingkup hukum dagang. Apabila ingin menelusuri sejarah Hukum Kepailitan yang berlaku di Indonesia, maka kita juga harus menelusuri sejarah Hukum Dagang yang berlaku di negeri Belanda, khususnya Faillisement Wet (FW).
Di Indonesia sendiri, berdasarkan asas konkordansi, Hukum Dagang Belanda diberlakukan pula di Indonesia sebagai daerah jajahannya mulai tanggal 1 Mei 1848. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum kepailitan yang ada di Indonesia saat ini berakar dari hukum dagang Belanda tersebut.
Dalam perkembangan selanjutnya, Pemerintah Pendudukan Belanda di Jakarta pada Tahun 1947 menerbitkan Noodregeling Faillisementen 1947 yang dimuat dalam Staatbald 1947 No. 214 pada tanggal 12 Desember, dan mulai berlaku pada tanggal 19 Desember 1947. Sementara itu, ketentuan Hukum Kepailitan yang berlaku adalah Faillissement Verordening 1905. Dan karena krisis moneter yang terjadi di Indonesia pada bulan Juli 1997, pemerintah pada tanggal 22 April 1998 mengeluarkan Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan guna mengatasi utang piutang yang timbul akibat krisis tersebut. 

http://booklitica.blogspot.com

Perpu No. 1 Tahun 1998 ini mulai berlaku 120 hari sejak diundangkan dan selanjutnya dikuatkan serta disahkan menjadi Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan menjadi Undang-Undang yang mana disahkan pada tanggal 9 September 1998.
Berdasarkan sejarah pembentukan UU No. 4 Tahun 1998, seharusnya paling lambat tanggal 9 September 1999, pemerintah sudah harus menyampaikan RUU tentang Kepailitan sebagai pengganti UU No. 4 Tahun 1998. Namun demikian, amandemen ini baru dapat dilakukan pada tanggal 18 Oktober 2004 dengan disahkannya UU No. 7 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.[4])

C.     Tujuan dan Asas-asas Hukum Kepailitan
Menurut Sutan Remy dalam buku Hukum Kepailitan; Memahami Faillissementsverording juncto Undang-Undang No. 4 tahun 1998, yang ditulis oleh Bagus Irawan, tujuan dari hukum kepailitan (bankruptcy law) adalah:
1.      Untuk menjamin pembagian yang sama terhadap harta kekayaan debitor diantara para kreditornya.
2.      Mencegah agar debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan kreditor.

http://booklitica.blogspot.com

3.      Memberikan perlindungan kepada debitor yang beritikad baik dari para kreditornya, dengan cara memperoleh pembebasan utang.[5])
Sementara itu, di dalam penjelasan umum Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang disebutkan bahwa undang-undang ini disarkan pada beberapa asas, asas tersebut antara lain adalah:
1.      Asas Keseimbangan
2.      Asas Kelangsungan
3.      Asas Keadilan
4.      Asas Integrasi

D.    Syarat-syarat Kepailitan
Ketentuan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 menyimpulkan pernyataan pailit dapat diajukan apabila memenuhi syarat-syarat:
1.      Debitor terhadap siapa permohonan ini diajukan harus peling sedikit mempunyai dua kreditor, atau dengan kata lain harus memiliki lebih dari satu kreditor.
2.      Debitor tidak dapat membayar sedikitnya satu utang kepada salah satu kreditornya.
3.      Utang yang tidak dibayar itu harus telah jatuh waktu dan telah dapat ditagih.[6])
Sejalan dengan pernyataan diata, Zainal Asikin juga menyebutkan bahwa pihak yang tergolong debitur atau seseorang yang dapat dinyatakan pailit adalah:
1.      Siapa saja/setiap orang yang menjalankan perusahaan atau tidak menjalankan perusahaan.
2.      Badan hukum, baik yang berbentuk perseroan terbatas, firma, koprasi, perusahaan negara, dan badan-badan hukum lainnya.
3.      Harta warisan dari seseorang yang meninggal dunia dapat dinyatakan pailit apabila orang yang meninggal dunia itu semasa hidupnya berada dalam keadaan berhenti membayar utangnya, atau harta warisannya pada saat meninggal dunia si pewaris tidak mencukupi untuk membayar utangnya.
4.      Setiap wanita bersuami (si istri) yang dengan tenaga sendiri melakukan suatu pekerjaan tetap atau suatu perusahaan atau mempunyai kekayaan sendiri.[7])

E.     Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Proses Kepailitan
Adapun para pemain utama dalam suatu proses kepailitan adalah sebagai berikut:
1.      Pemohon Pailit
Pihak pemohon pailit yakni pihak yang mengambil inisiatif untuk mengajukan permohanan pailit ke pengadilan. Menurut Perpu Pasal 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, yang dapat menjadi pemohon dalm suatu perkara pailit adalah:
a.       Debitor itu sendiri (Valuntary Petition)
b.      Satu atau lebih kreditor
c.       Kejaksaan untuk kepentingan umum
d.      Bank Indonesia jika debitornya Bank
e.       Badan Pengawas Pasar Modal jika debitornya perusahaan efek. Yang dimaksud dengan perusahaan efek adalah pihak yang melakukan kegitannya sebagai penjamin emisi efek, perantara pedagang efek, dan/atau manajer investasi, sebagaimana yang dimaksudkan dalam perundang-undangan pasar modal.

http://booklitica.blogspot.com

2.      Debitor Pailit
3.      Hakim Niaga
4.      Hakim Pengawas
Tugas dan wewenang dari hakim pengawas sudah diatur dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 (UUKPKPU).[8])
5.      Kurator
Pasal 1820 KUHP menentukan bahwa “Penjamin/Borgtoch/Guaranty adalah suatu perjanjian / persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga guna kepentingan si berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berutang manakala orang itu sendiri tidak memenuhinya.”
6.      Panitia Kreditor

F.      Prosedur Permohonan Pailit
Adapun prosedur permohonan pailit adalah sebagai berikut:
1.      Pengadilan yang Berwenang
Pada dasarnya, di dalam UU Pasal 2 secara implisit dinyatakan bahwa setiap permohonan pernyataan pailit harus diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitur yang mana harus diajukan melalui seorang pengacara yang memiliki izin beracara di pengadilan. 
2.      Hukum Acara yang Berlaku
3.      Jangka Waktu Proses Peradilan
Menurut UU Pasal 286 (2).a. total hari dalam proses peradilan adalah 286, sedangkan menurut UU Pasal 286(2).b. total hari adalah 136 hari dengan uraian sebagai berikut:[9])
4.      Banding dan Kasasi atas Putusan Pengadilan Niaga
5.      Peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung
6.      Pemanggilan Debitur oleh Pengadilan Atas Setiap Permohonan Pernyataan Pailit yang diajukan
7.      Sifat Pembuktian Sederhana
8.      Asas Publisitas dari Putusan Permohonan Pernyataan Pailit
9.      Pemeriksaan secara Cuma-Cuma
10.  Pencabutan Permohonan Pernyataan Pailit
11.  Penyitaan oleh Kreditur Selama Sidang Berlangsung
http://booklitica.blogspot.com
Selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum ditetapkan, setiap kreditur atau kejaksaan dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan debitur atau menunjuk kurator sementara untuk mengawasi pengelolaan usaha debitur serta mengawasi pembayaran kepada debitur, pengalihan atau pengagunan kekayaan debitur dalam rangka kepailitan.[10])
Berkaitan dengan penyitaan oleh kreditur selama sidang berlangsung, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan:
a.       Harta Pailit
Yang disebut dengan harta pailit adalah harta milik debitur yang dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan.
b.      Kebendaan yang Berada di luar harta pailit
Harta benda yang dikecualikan dari harta pailit sudah diterangkan dalam UU Kepailitan Pasal 20.
c.       Hak dan Kedudukan Istri atas Kepailitan Suami.
Menurut Pasal 60 UU Kepailitan, jika seorang suami dinyatakan pailit, maka istri dibolehkan mengambil kembali semua barang bergerak dan tidak bergerak yang menjadi kepunyaannya, yang tidak jatuh dalam persatuan harta. 


G.    Berakhirnya Kepailitan
Berakhirnya kepailitan apabila telah terjadi hal-hal sebagai berikut:
1.    Perdamaian
Isi perdamaian yang termuat dalam berita acara perdamaian harus dimohonkan pengesahan kepada pengadilan yang mengeluarkan keputusan kepailitan yang harus dikeluarkan paling lambat 7 hari sejak dimulainya sidang pengesahan.
2.    Insolvensi
Insolvensi merupakan fase terakhir kepailitan yang mana insolvensi itu sendiri adalah suatu kejadian di mana harta kekayaan (boedel) pailit harus dijual lelang di muka umum, yang hasil penjualannya akan dibagikan kepada para kreditor sesuai dengan jumlah piutangnya yang disahkan dalam akor.[11]
http://booklitica.blogspot.com


DAFTAR PUSTAKA

Yani, Ahmad dan Widjaja, Gunawan, Seri Hukum Bisnis; Kepailitan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004.
Asiki, Zaenal, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001.
Irawan Bagus, Hukum Kepailitan; Perusahaan; dan Asuransi, Bandung: PT Alumni, 2007.
Sunarmi, Hukum Kepailitan, Jakarta: PT SOFMEDIA, 2010.
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1987.
Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis; Prinsip dan Pelaksanaanya di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008.
http://booklitica.blogspot.com




[1])   W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1987), h. 695.
[2])   Irawan Bagus, Hukum Kepailitan; Perusahaan; dan Asuransi, (Bandung: PT Alumni, 2007), h. 15.
[3])   Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis; Prinsip dan Pelaksanaanya di Indonesia, (Ed. Revisi; 3, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), h. 229.
[4])   Sunarmi, op. cit., h. 17.
[5])   Irawan Bagus, op. cit., h. 29.
[6])   Ibid., h. 36.
[7])   Asiki, Zaenal, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 34.
 [8])   Irawan Bagus, op. cit., h. 54-56.
[9])   Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis; Kepailitan (Ed. 1; Cet. 4; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004) h. 19-20
[10])          Ibid., h. 26
[11])          Zaeni Asyhadie, op. cit., h. 250-251.

Comments

Popular Posts