Chapter 2.2 ; I’m Sorry Oppa, I Love You
I’m Sorry Oppa, I Love You
(Aku hanya berharap kau membaca ini dan memberiku jawaban)
Chapter 2
Tiga minggu adalah waktu yang sangat cukup bagi Eza untuk mengikhlaskan balon cintanya melayang pergi. Ya, sudah tiga minggu ia membiarkan dirinya memikirkan laki-laki yang tak pernah ditemuinya lagi. Tanpa ada sedikitpun percaya diri bahwa mungkin saja mereka bisa bertemu lagi, Eza membiarkan dirinya berpikir bahwa rasa sukanya sudah berkembang menjadi cinta. Jatuh cinta pada laki-laki yang bahkan namanya saja tidak tahu. Jatuh cinta pada laki-laki yang kau temui sebanyak tiga kali tanpa sengaja dikeramaian. Eza benar-benar sudah gila.
“Mau kemana kita?” Eza bertanya pada Denta. Saat ini mereka berdua sedang berada disebuah pusat perbelanjaan. Berhubung suasana hatinya sedang tidak cukup baik, Eza ikut saja diajak Denta pergi.
“Supermarket. Mau cari snack buat nonton ntar malam. Aku baru beli kaset.” Sahut Denta panjang lebar. Yang benar-benar masuk kedalam kepala Eza sebenarnya hanya kata supermarket. Tapi ia memaksakan sebuah senyum terulas diwajahnya. Bukan Eza namanya kalau tak bisa tersenyum, seburuj apapun cuaca hatinya.
Setelah menitipkan tas, kegiatan shopingpun dimulai. Berhubung tidak apa yang hendak dibeli, jadi Eza hanya mengikuti Denta yang mulai asik mengisi keranjanng belanjaannya.
“Beli apaan, Za?” Tanya Denta saat Eza mengambil sebuah tempat bedak bayi. “Buat siapa, tu?” lanjut Denta.
“Igo[1]? Naeko[2]!” jawab Eza. Lima tahun belajar bahasa Korea membuat Eza dan Denta terbiasa memasukkan bahasa itu kedalam percakapan mereka. Walau tidak lancar, mereka bisa merasa nyaman menggunakanny. Dan, oh, yang tadi dikatakan Eza itu artinya, ‘Ini? Punyaku!’
“Chongmal[3]?” sahut Denta sedikit tak percaya.
“Wae? Andwae?[4]” balas Eza. Tapi kemudian Eza tak bisa melanjutkan kalimatnya. Matanya hanya terpana melihat sosok yang memperhatikan mereka.
Sadar reaksinya sangat kentara, Eza lalu tersenyum pada laki-laki itu. Sementara Denta yang baru menyadari perubahan sikap temannya membalikkan badan, mencari tahu apa gerangan sebenarnya yang sedang terjadi.
Tanda O kecil terlihat dibibir Denta, bila memang ada yang memperhatikannya, saat ia mendapati oppa yang pernah dipermasalahkan Eza hadir dibenaknya berdiri tak jauh dari mereka. Menyadari sikutan yang lumayan kuat kuat dari Eza, Dentapun mengikuti kawannya itu bergerak menjauh.
“Kenapa lari?” tanpa diduga si oppa menghampiri mereka. Bahasa Indonesia yang diucapkannya terdengar lucu. Tapi cukup untuk membuat hati Eza kembali bergetar. Ia merasakan tanda bahaya berbunyi dari kepalanya. Jadi ia membiarkan Denta menjawabnya.
“Ang,,” Eza memutar kepalanya, menghadap Denta. Kawannya itu hanya tersenyum. Yang seperti itu sih jelas sama sekali bukan jawaban, batin Eza.
“Ada apa? Tidak usah malu. Saya justru senang mendengar ada yang bisa berbahasa Korea disini.” Tanbah oppa itu sambil tersenyum. Tidak sadar tindakannya bisa saja membunuh salah satu gadis dihadapannya.
“Saya tak bisa.” Denta menatap Eza. Tidak mengerti kenapa temannya berkata demikian.
“Tidak bisa? Kenapa?” sepertinya si oppa sama tidak mengertinya mendengar jawaban Eza.
“No saranghanikka[5]” Eza mengutuki mulutnya sendiri. Tanpa sadar ia sudah mengucapkan kata-kata itu. No saranghanikka, karena aku mencintai mu. Oh, hanya Tuhan dan Eza sendiri yang tahu betapa kagetnya ia mendapati kata-kata itu sudah begitu saja meluncur dari mulutnya.
Disana, bukan hanya Eza yang kaget. Tentu saja oppa dihadapan mereka turut kaget. Mungkin tak percaya pada pendengarannya. Sementara Dante, hanya menatap Eza tak percaya. Lebih tepatnya melotot kepadanya.
“Mianhae...” detik berikutnya hanya kata itu yang keluar dari mulut Eza. Mengakhiri kesunyian yang tiba-tiba hadir disana. Setelah sedikit membungkukkan badan kearah oppa itu Eza lalu menyeret Denta pergi menjauh.
Entah bagaimana reaksi laki-laki yang baru saja ditinggalkannya itu. Eza sama sekali tak ingin mencari tahu. Sekarang yang benar-benar ingin dilakukannya hanyalah mencari lubang tikus dan masuk kedalamnya. Meratapi dan mengutuki mulutnya yang tidak bersahabat.
“What did you do?” Akhirnya Denta sadar dari keterkejutannya setelah mereka duduk di salah satu cafe di pusat perbelanjaan itu. “Waw! Kau itu, gila Eza! Sungguh..” Denta menggeleng-gelenkan kepalanya tak percaya. Tapi kemudian ia tersenyum lebar. Lebih terlihat seperti seringaian yang manutupi tawanya yang hendak meledak.
“Ya, ya, kau benar. Aku gila! Oh, Tuhan! Apa yang sudah kulakuakn?” Eza menahan kepalanya yang tiba-tiba saja berat dengan kedua tangan. Napasnya sungguh berat saat ini.
“Aku,, aku tak tahu apa yang kulakukan. Aku tadi hanya terlalu senang melihat dia disana. Dan mendengar suaranya. Dan kenyataan bahwa dia tersenyum padaku, pada kita. Dan dia bicara pada kita. Aku terlalu senang.” Eza mulai bicara panjang lebar dengan kedua tangannya memegangi leher. Seolah ia tak akan sanggup berbicara bila itu tak ia lakukan. “Lalu aku tiba-tiba takut. Takut bagaimana kalau itu berakhir begitu saja. Dan tak ada lagi kesempatan. Bahkan untuk bertemu? Oh, sial!”
Denta menghela napas panjang. Ia ikut bersimpati pada temannya. Tapi tetap tak bisa menghilangkan senyum dari bibirnya. Ia benar-benar berpikir tindakan Eza tadi sangat bodoh. Dan kebodohannya itu begitu lucu.Menepuk bahu Eza, ia membuka mulutnya hendak bicara yang kemudian dihentikan oleh dering telepon.
Telpon itu ternyata dari mama Denta yang memintanya segera pulang. “Gimana ni Za?” tanya Denta hati-hati.
“Pulangnya?” Eza balik bertanya. Tadi mereka pergi dengan menggunakan motor Eza. Dan rencananya Denta akan balik dengan diantar cowoknya yang bekerja dipusat perbelanjaan itu juga.
“Chiko si udah pulang juga ini. Aku sama dia.” Sahut Denta seraya tersenyum. Senyum yang enggak pernah bisa dia sembunyiin kalau sudah ngomongin si Chiko pacarnya itu.
“O, ya udah, duluan aja deh Ta. Aku mau disini dulu.” Sahut Eza sambil melayangkan seulas senyum, keahliannya.
“Oke deh. Sorry ya!” Kata Denta sambil bangkit dan menepuk bahu Eza “Nanti hubungi aku bagaimana setelah ini.” Tambahnya sebelum pergi.
Setelah ini? Ada apa setelah ini? Pertanyaan itu juga berkecamuk didalam kepala Eza. Menghela napas panjang, Eza memandang keluar jendela. Tapi kemudian ia lalu memalingkan kepalanya. Mengedarkan pandangan kesekeliling cafe. Cafe ini adalah tempat ia pertama bertemu oppa itu. Tempat kedua juga. Hitungan ketiga ia jatuh cinta. Lalu ia menyatakan cintanya pada hitungan keempat. Eza hampir yakin kini bahwa dirinya benar-benar sudah gila.
Kembali menghela napas panjang, Eza meminum mocca-nya. Tiba-tiba ia mendapatkan sebuah ide. Satu ide gila lagi sepertinya bisa menjadi jawaban atas apa yang akan dilakukannya setelah ini.
©©©
“Apa ini?” Denta menatap tumpukan kertas dihadapannya.
Tadi malam Eza mengiriminya pesan yang mengatakan bahwa mereka harus bertem. Dan begitu Dante tiba, Eza menyambutnya dengan senyum seraya menyodorkan setumpuk kertas kepadanya.
“Kemarin setelah kau pergi, aku menulis itu, disini.” Jawab Eza masih memperlihatkan senyumnya.
“Dan ini adalah?” Dante menuntut jawaban dari Eza. Kentara sekali ia malas kalau disuruh membaca semua itu saat ini juga. “I’m Sorry Oppa, I Love You” mata Dante kemudian terpaku pada judul kertas itu.
Dengan senyum yang semakin lebar Eza menjelaskan. “Aku menuliskannya. Tentang aku terhadap oppa itu. Ya, ada tambahan sana-sini lah. Yang pasti aku akan mempublikasikannya. Kemanapun. Blog, koran, majalah. Aku hanya berharap dia membaca ini dan memberiku jawaban.”
To be continue... ?? entahlah :)
Comments
Post a Comment